Pena Dan Secarik Kertas

“Kita pernah saling menjaga dan mempertahankan satu sama lain, kata mu esok itu milik mu dan milik ku dalam kita.”


Wajah lama dengan ribuan hari yang terlewati. Antara iya atau tidak, aku memilih mu. Satu lagi orang yang Tuhan ciptakan untuk menggores beberapa halaman berasama.  Tak asing mu karna terbalut sebuah kisah lama yang bermetamorfosis menjadi sebuah cerita baru. Perjalanan baru saja dimulai, sebuah rasa yang tumbuh tanpa harus bertatap kenyataan.
Masih aku ingat persis hari itu,bagaimana matahari enggan menampakan dirinya sedikitpun.. mungkin ia malu dengan canda manis delapan anak saat itu. Sebuah tatapan mata tak biasa kau luncurkan, cinta mu hadir terbungkus butiran gerimis yang mengguyur. Ini bukan kebetulan, susana dingin kala itu tak kujamah sedikit pun.. aku benar-benar sadar dan aku merasa hangat dalam pejaman sang mentari.
Semuanya mulai saat belum di mulai oleh mu atau aku, aku mencoba memahami legamnya kisah ini. Sebenarnya ceritaku tak beralur, aku hanya mencoba hanyut bersamanya. Malam itu, kau tegaskan lagi legit cinta yang kau rasakan.. ‘aku merasakannya’.
Menerima mu menjadi pena dalam secarik kertas ku berarti menerima cerita yang akan pena goreskan ke dalam putih keras itu. Ragu jelas menampakan batang hidungnya namun semilir angin kepercayaan perlahan menyirnakannya. “Beri salam bagi jarak yang akan aku tempuh..dan juga kamu”  aku mulai menapakan kaki ku pada hal baru yang fana..  hati ku menolak terkejut, namun itu yang pena goreskan.. daratkan satu pelukan hangat pada beberatus kilo meter dan bejuta detik yang membentang sekarang.
Lihat?  Sekarang rinduku semakin menajam, tak seperti biasanya. Cerminan hari itu membuat ku enggan berhenti mencari kata pertemuan. Aku menang melawaan jarak saat ini. ‘Gerimis ku adalah kamu, perpaduan sendu dan tenang... di rindukan saat ceriknya matahari membakar , namun kadang butiran mu yang menyayat.’
Apa yang akan pena coretkan kali ini?  Kelopak mata ku membuka lebar membelagak pada rangkaian huruf yang baru saja tersusun dalam halaman kali ini. Aku sadar betul akan hal itu, namun haruskah ia... . meraka bilang perbedaan itu indah, namun ini kita memang beda, akankah indah seperti katanya? Seketika kelu dari bibir ini terasa... namun, selalu saja bisu ini memilih menampakan diri. “Tuhan memang satu, kita yang tak sama”  mungkin ini terlalu masam untuk  satu rasa yang kita sebut sayang, pasrah yang kemudian membuat jejak kita berubah manis masam karena ragu.  ‘Saat alur telah tertetesi asam hingga berkarat haruskah alur itu patah tak membekas?’ jika memang iya mungkin aku tak sanggup meyatukan alur itu lagi , takut lebih dulu menghantui ku. Namun rasa bersikap lain.Sesyair doa bernafaskan harpan yang tak terucap bibir telah ku panjatkan.. karna yakin ku kita yang menjalani  Ia yang bertindak. Perbedaan ini rencana-Nya.
Kau tak tau betapa bangganya aku akan semua halaman-halaman baru ini. Namun, tidak semenjak sore itu. Deru tangis menghantui perasaan ku, kali ini ragu memang benar-benar bertengger dalam benak ku.. kau kemanakan hatiku yang selama ini kau genggam? Pekatnya aroma perubahan telah membuka jalan baru bagi mu. Benarkan ada hati baru yang mulai kau singgahi? Aku tak tahu, aku tak dapat melihat mu... ini bukan kata ku, namun kata hati ku. kemana hilangnya waktu mu untukku? dimana segelintir perhatian tak bersyaratmu untukku?. Pertengkaran hebat telah merapuhkan sisi lain dari rasa kita. Mungkin ini akhir dari segala rasa yang telah ku kecap selama ini, kita akan menjalani kisah lama kita, dan kau masih akan tetap menempati sosok tak asing itu.
Lepas kan aku jika memang kau ingin, pulanglah pada ku jika memang hati meminta mu.. tapi tolong jangan kau kenalkan diri ku pada satu yang tak pasti. Dan sekarang kecewa membungkus hati ku. Aku kehilangan mu sebagai sosok sahabat dan kehilangan mu sebagai milik ku.
Dan sabtu manis kala itu terhenti pada selasa sendu di iringi sapa lembut butiran gerimis yang sama.